Bertengkar adalah hal biasa dalam suatu hubungan. Namun, meskipun hal ini sering terjadi, dan kita tentunya sudah sering waspada mengenai kemungkinan terjadinya perdebatan dengan pasangan, selalu saja kita melontarkan kata-kata yang menyakitkan. Selalu saja kita menyalahkan, menganggap orang lain yang bersalah. Jika pun kita yang menjadi sumber masalah, kita mencari pembenaran-pembenaran atau memberikan alasan-alasan mengapa kita melakukannya.
Bila situasi yang panas ini dibiarkan berlarut-larut, hubungan Anda dan si dia tentu akan terancam karena satu sama lain tidak mau mengalah. Karena itu, lebih baik Anda selalu mengingat apa yang harus dikatakan pada pasangan bila sedang menghadapi pertengkaran. Gretchen Rubin, penulisThe Happiness Project, mengumpulkan 23 kalimat yang dapat membantu agar Anda dapat membahas masalah tanpa membuat "panas" si dia. Berikut adalah 9 di antaranya.
"Aku cuma mau ngeluarin uneg-uneg. Kamu enggak harus mencari jalan keluarnya." Kalimat ini merupakan cara yang baik, tanpa bersifat mengkonfrontasi, untuk menyampaikan bahwa Anda hanya ingin si dia mendengarkan pernyataan Anda, dan bukannya pendapat yang bertentangan.
"Tolong pahami pendapatku." Salah satu hal yang Anda lupakan saat terjadi argumentasi adalah empati. Semakin terjadi perbedaan pendapat, semakin sempit cara Anda berdua berpikir. Sebaiknya Anda katakan kalimat ini sebelum memulai percakapan, untuk memastikan bahwa Anda berdua melontarkan masalah dengan tetap mempedulikan perasaan masing-masing.
"Ini penting buat aku. Tolong dengarkan." Saat merasa kesal dan membahas suatu masalah, kita cenderung untuk tidak mendengarkan apa yang disampaikan pasangan. Sebaliknya, Anda akan sibuk berpikir mengenai apa yang harus dikatakan untuk membalas ucapan pasangan yang tidak berkenan.  Tunggulah hingga beberapa detik sebelum menyampaikan poin-poin paling penting pada pasangan.
"Aku juga salah." Bila terjadi masalah, memang paling mudah menyalahkan pasangan sebagai pihak yang menciptakan masalah tersebut. Tentu saja, Anda akan menganggap hal ini merupakan suatu justifikasi, namun tak seorang pun senang bila disudutkan. Akui apa andil Anda dalam terjadinya suatu masalah, tak peduli betapa pun kecilnya.
"Ayolah, kita sudah keluar dari masalahnya." Anda tahu apa yang terjadi bila hal ini terucap? Anda begitu sibuk menyalahkan, dan mengungkit-ungkit kesalahan di masa lalu, sehingga apa yang Anda perdebatkan sudah melebar ke masalah lain. Gunakan kalimat ini untuk mengarahkan kembali percakapan ke masalah utama yang ingin diselesaikan.
"Apa sih yang kita ributkan?" Masalah kecil bisa berubah menjadi masalah besar, terutama jika hal itu sering terjadi dan berkisar pada masalah yang itu-itu saja. Daripada mempermasalahkan hal-hal kecil tersebut dan membuatnya mengambang tanpa solusi terus-menerus, lebih baik komunikasikan dengan pasangan apa yang sebenarnya mengganggu Anda berdua. Bila sudah menemukan apa sumber masalahnya, hal ini bisa diikuti dengan pernyataan:
"Ini bukan hanya masalah kamu, tetapi masalah kita berdua." Pernyataan ini bisa mengubah dinamika pertengkaran dari Anda dan dia, menjadi bagaimana Anda dan dia berusaha mengatasi masalah tersebut.
"Ya sudah, kita berpikir dulu lah." Saat sedang emosi, kita akan cenderung mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan. Jika Anda merasakan dorongan untuk mengatakan sesuatu untuk membalas sakit hati Anda, hal terbaik yang bisa Anda lakukan adalah berhenti berbicara. Beri waktu bagi Anda berdua untuk berpisah, menenangkan diri dan saling berpikir. Bila mungkin, tunda satu atau dua hari untuk bertemu lagi. Dengan demikian Anda memberi kesempatan amarah untuk mereda lebih dulu.
"Aku sayang sama kamu." Tak ada sesuatu pun yang sanggup meluluhkan hati seseorang yang sedang dilanda amarah, kecuali menyampaikan perasaan Anda yang paling dalam kepadanya. Anda akan segera menyadari, bahwa dirinya sangat berarti untuk Anda, dan Anda tak ingin kehilangan dia hanya karena memuaskan rasa kesal yang tak ada habisnya.

Pertengkaran dalam hubungan pernikahan sangat wajar dan bahkan harus ada. Berbeda pendapat, berselisih faham menjadi bagian tak terpisahkan dalam hubungan pasutri. Justru konflik kecil ini bisa membuat hubungan lebih harmonis lagi.

Pertengkaran yang umum terjadi dalam pernikahan lebih membangun daripada pasangan memendam amarah. Namun ini tak lantas diartikan mentah-mentah bahwa Anda boleh mengumbar marah tanpa mampu mengontrolnya. Mengungkapkan emosi perlu juga disertai dengan kontrol diri. Ini lebih baik daripada menyimpan masalah dari pasangan Anda.

Mengapa pertengkaran wajar hadir dalam pernikahan? Karena pernikahan memang tak mudah. Hubungan berpasangan dalam ikatan perkawinan melibatkan dua individu dengan tingkat emosi dan cara pandang berbeda. Sementara keduanya hidup berdampingan dalam satu atap untuk selamanya. Pengambilan keputusan atau berbagai masalah seputar anak, keuangan, harta hingga seks bisa menjadi sumber perselisihan. Tak apa berselisih namun sebaiknya masih dalam rambu ini:

1. Setiap orang berkesempatan berbicara

Setiap individu dalam hubungan pernikahan memiliki hak mengungkapkan emosi dan pendapatnya. Jika waktunya Anda berbicara, gunakan kesempatan ini dan pasangan perlu mendengarkan Anda. Namun jangan egois, berikan juga kesempatan kepada pasangan untuk menyampaikan maksudnya. Anda juga perlu mendengar dan bukan melulu menguasai pembicaraan. Dengan adanya sikap seperti ini, rasanya apapun pertengkaran yang terjadi tak lantas membuat salah satu pihak sakit hati.

2. Fokuslah pada perasaan Anda
Pertengkaran membawa dampak buruk bagi pasangan menikah jika ucapan negatif. Sampaikanlah ketidaksukaan Anda, namun dengan tetap fokus pada perasaan Anda dan bukan menunjuk kesalahan pasangan. Katakan, seperti apa perasaan Anda saat mengalami permasalahan. Atau sampaikanlah bagaimana perasaan Anda atas sikap pasangan. Dan bukan menjabarkan apa dan bagaimana kesalahan pasangan yang membuat Anda kesal.

3. Tidak mencampuradukkan masalah
Jika konflik yang terjadi dipicu persoalan pembagian tugas dirumah, fokuslah menyelesaikan masalah itu. Bukan lantas mencampuradukkan masalah dengan hal lain, seperti mengaitkan masalah dengan sikap orangtua pasangan misalnya. Selesaikan masalah Anda dan pasangan, bukan membahas masalah lain yang sebenarnya tak terkait dengan konflik awal.

4. Selipkan ungkapan cinta
Bertengkar tak berarti hilangnya rasa cinta terhadap pasangan. Perselisihan menjadi cara mengungkapkan perasaan tentang masalah yang Anda dan pasangan hadapi. Jadi, jangan pernah membiarkan pasangan Anda merasa tak lagi dicintai saat menghadapi perselisihan. Anda boleh marah, teriak, mengumpat namun jangan pernah mengancam atau mengeluarkan kata cerai atau sekadar mengatakan "aku benci padamu".

5. Rehatlah sejenak
Jika Anda dan pasangan menemui jalan buntu, cobalah rehat sejenak. Artinya kalau setelah satu jam perselisihan tak juga menemukan ujung berhentilah bertengkar. Berikan waktu untuk diri sendiri, dan kembalilah membahas masalah setelah beberapa saat.

Konflik dalam pernikahan bisa diatasi dengan bantuan konseling, asalkan kedua pasangan menyepakatinya. Jika pasangan menikah memutuskan mencari bantuan konseling, ini menunjukkan adanya keinginan kuat untuk tetap menjaga komitmen hubungan pernikahan. Namun apa pentingnya konseling dalam mengatasi konflik pernikahan? Tidakkah curhat pada keluarga saja cukup?

Objektivitas
Terapis atau profesional yang menjadi mediator bagi pasangan menikah, bisa mengurangi intimidasi pada pasangan yang sedang berkonfrontasi. Dengan kehadiran konselor, pasangan bisa saling mengekspresikan perasaannya tanpa adanya interupsi dari suami dan atau istri. Peran terapis adalah mengevaluasi sikap dari setiap individu dengan lebih obyektif. Sebagai profesional di bidangnya, terapis dan atau konselor juga akan memberikan saran yang lebih konstruktif kepada pasangan dalam menghadapi konflik pernikahan.

Menggali sumber konflik
Tugas utama terapis adalah menunjukkan masalah utama dalam konflik pernikahan. Baik suami atau istri yang terlibat konflik pernikahan kadang memiliki persepsi berbeda, bahkan dalam melihat sumber masalah. Dengan bantuan terapis, setiap individu bisa melewati tahapan evaluasi personal sebelum dipertemukan dalam satu sesi konseling. Artinya konselor bisa memiliki kesempatan untuk mengevaluasi bagaimana setiap individu melihat masalah atau konflik yang terjadi. Alhasil, konselor mendapatkan formulasi yang tepat untuk mengatasi masalah yang sebenarnya dan menyarankan program terapi yang sesuai.

Meningkatkan komunikasi
Membangun komunikasi akan meningkatkan berbagai aspek kehidupan pernikahan. Konselor fungsinya adalah juga memfasilitasi pasangan agar bisa saling menyampaikan perasaan lebih efektif, terutama yang terkait dengan isu yang menimbulkan ketidaksepahaman. Dengan konseling, pasangan yang menghadapi konflik bisa lebih membuka wawasan berpikirnya sehingga bisa melihat dasar masalah pernikahan lebih jernih. Melalui konseling dengan pakar, pasangan juga berkesempatan untuk membangun interaksi yang lebih konstruktif.

Mencapai kesepahaman
Keputusan untuk mendatangi konseling pernikahan membutuhkan kesadaran bersama dan niat untuk memupuk kembali hubungan. Konsekuensinya, agar terapi bisa berhasil, masing-masing individu harus mau dan bisa menerima perubahan pada pasangan yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi saling menerima dan mengerti satu sama lain. Memahami bahwa suami maupun istri memiliki keinginan dan harapan yang sifatnya individual, menjadi awal yang penting untuk mewujudkan sikap saling menghargai. Pernikahan yang sehat, bagaimanapun juga, membutuhkan sikap saling jujur, percaya, menghargai, dan menyetarakan.

Belajar menemukan resolusi dari konflik
Konseling pernikahan memang bertujuan untuk memfasilitasi pasangan agar mampu membangun komunikasi dan kemampuan untuk saling memberdayakan sebagai pasangan. Harapannya, kelak pasangan bisa menyelesaikan masalah yang muncul kembali dalam pernikahan. Terapi dan metode yang didapat pasangan menikah dari konseling adalah membantu setiap individu untuk mengembangkan pola interaksi yang saling membangun. Melalui komunikasi dan sikap yang saling mengapresiasi pasangan, suami dan istri bisa tumbuh dalam intimasi yang lebih kuat dan pernikahan yang lebih sehat.


Tak ada hubungan pernikahan yang serupa di antara pasangan mana pun, namun pada umumnya, hubungan suami istri tersebut akan melewati tahapan-tahapan yang sudah ditebak. Pewaktuannya bisa berbeda, dan cara tiap pasangan menghadapinya pun bisa berbeda, tetapi dengan memahami tahapan-tahapan tersebut, bisa membantu Anda selangkah lebih maju untuk mengupayakan agar hubungan pernikahan Anda berhasil. Berikut adalah tahapan-tahapan yang menurut Rita DeMaria, Ph.D., terapis pernikahan dan keluarga, akan dihadapi oleh pasangan suami istri:

1. Bulan Madu
Biasanya, tahun pertama hingga ketiga (tergantung hadirnya si kecil, serta di mana Anda hidup sebelumnya), adalah periode "emas" yang penuh dengan gairah, fokusnya lebih intens kepada sifat ketertarikan yang membuat satu sama lain memutuskan untuk bertukar ikrar di depan Sang Maha.

Tantangannya: Level ini dipenuhi dengan hal-hal manis, seperti gairah yang membuncah, afeksi, dan malam-malam  yang sibuk berduaan. Akan sangat bijaksana jika Anda dan pasangan menggunakan masa-masa manis ini upaya menguatkan ikatan kasih Anda di luar ranjang. Tanyakan "seperti apakah Anda dan dia sebagai pasangan?" Luangkan waktu bersama si dia untuk membicarakan visi Anda dan dia sebagai suami istri ke depannya.

2. Mulai menetap

Ini adalah tahapan yang dijuluki sebagai "tahapan realisasi" oleh DeMaria. Di tahapan inilah Anda akan mempelajari mengenai kelebihan, kelemahan, dan kebiasaan personal si pasangan. Di tahapan sesudah bulan madu, dan sebelum hadirnya si kecil inilah seringkali terjadi tarik-ulur kekuatan terjadi, saat Anda dan dia saling mengutarakan keinginan untuk mencapai gol-gol hidup yang sejalan atau yang saling berlawanan.

Tantangannya: Saat masa-masa manis itu mulai memudar, dan realitas mulai menelisip, Anda harus mulai mengamankan diri, dan menjaga dari hal-hal yang bisa mengakibatkan perceraian di usia perkawinan muda, jelas Beverly Hyman, Ph.D., penulis How to Know If It’s Time to Go: A 10-Step Reality Test for Your Marriage. Ia juga menekankan, "Setelah beberapa tahun, banyak pasangan menemukan bahwa nilai-nilai dan gol hidup mereka tidak selalu sejalan".

3. Keluarga
Tahun-tahun para pasangan mencoba membangun keluarga, membeli rumah, membangun atau mengubah karier, dan mencoba menjalani hidup modern yang sibuk dan menggila bisa menjadi waktu yang berbahaya, ujar Hyman. "Anda bisa saja memiliki beberapa orang anak, tagihan rumah, hingga pekerjaan yang menyita waktu, hal-hal semacam inilah yang menimbulkan tekanan berat di hubungan pernikahan Anda.

Tantangannya: "Perhatikan baik-baik pernikahan Anda," saran Hyman. Jangan berasumsi bahwa hubungan Anda akan baik-baik saja jika salah satu dari Anda berada dalam mode autopilot. "Hal-hal yang esensial untuk membangun  hubungan antara lain; keterbukaan, kejujuran, dan komunikasi yang lancar," tambahnya. Berikan kesempatan untuk diri Anda dan dia berkomunikasi, jika memang harus, jadwalkan waktu untuk bisa berkomunikasi dengan santai, atau rencanakan malam berkencan.

4. Hanya Anda dan dia
Anda dan dia sudah mengarungi bahtera rumah tangga sekian tahun, anak-anak pun sudah tumbuh dewasa dan siap terbang. Dengan menjadi sepinya rumah, beberapa orang menyebut kondisi ini dengan tahapan "sarang kosong". Harapannya tidak benar-benar sedramatis itu. Dalam skenario harapan, tahapan ini akan menjadi waktu untuk reuni dengan si suami. "Anda kembali mengenal satu sama lain dari ulang lagi, membuka memori, dan bersenang-senang menjalaninya."

Tantangannya: Berasumsi bahwa Anda sudah melampaui masa-masa sulit di pernikahan, tahapan ini akan menjadi hal yang sangat menyenangkan. Banyak pasangan merasa kesulitan untuk bisa berduaan lagi dengan pasangannya ketika sudah tak lagi ada hal yang bisa dipikirkan. Coba luangkan waktu untuk melakukan hal yang bisa Anda dan dia lakukan bersama, atau mencari kesibukan baru lainnya.

5. Anda berhasil!

Anda sudah menikmati gairahnya, hidup dengan cinta, dan berhasil mengarungi ombak masalah keluarga dan masih terus bersama. Anda sudah mencapai fase yang disebut DeMaria "kelengkapan". Fase yang sudah memasuki tahap akhiran, ketika anak sudah dewasa, dan kini kembali Anda dan dia berdua, tetapi masih saling menikmati kehadiran satu sama lain.

Tantangannya: Teruskan untuk saling menunjukkan afeksi dan atensi. Ingat, ujar Hyman, jika Anda tetap saling mencintai dan mengasihi sambil tetap menjaga keharmonisan hubungan, sarang yang kosong itu tak akan lama lagi kembali ramai. Anak-anak dan cucu akan kembali lagi ke kehangatan Anda dan suami.

Di berbagai masa: Ledakan
Salah satu hal yang patut diwaspadai adalah fase ledakan-ledakan yang bisa datang kapan saja di waktu-waktu tertentu. Ketika poin-poin penyebab stres terbesar dalam hidup mengganggu alur hidup Anda berdua, seperti masalah kesuburan, kematian anggota keluarga, penyakit berat, atau kehilangan pekerjaan yang mengakibatkan pergolakan ekonomi keluarga yang luar biasa.

Tantangannya: Carilah dukungan, baik bersama atau terpisah, tergantung situasi. Jangan merasa bahwa Anda harus memiliki kekuatan untuk mengatasi masalah sendirian, hal ini bisa mengorbankan pernikahan Anda. Carilah nasihat dari teman, keluarga, konselor agama, atau terapis profesional. "Jangan lupa untuk terus memerhatikan kesehatan fisik dan emosional Anda," terang DeMaria.


Pernikahan merupakan komitmen bersama seumur hidup, termasuk perjuangan pasangan menghadapi berbagai konflik yang terjadi dalam relasi suami istri. Pernikahan yang gagal, umumnya terjadi karena salah satu pihak berhenti mencari solusi untuk masalah yang terjadi, atau tidak memiliki keinginan untuk mencari solusinya.

Padahal, hanya ada dua masalah dalam pernikahan: masalah yang bisa diselesaikan, dan masalah yang tak bisa diselesaikan. Hanya saja, penyelesaiannya tak bisa berlangsung secara instan. Butuh komitmen untuk menghadapi kedua tipe masalah tersebut dengan cara tepat. Bagaimana tekniknya?

1. Klasifikasi masalah
Tentukan tipe masalah dari isunya, isu yang mudah dicari jalan keluarnya, atau jalan keluar yang sulit. Tipe masalah dengan isu tertentu bisa dicari jalan keluarnya dengan kompromi. Kebiasaan buruk pasangan yang seringkali membuat Anda kesal, seperti kebiasaan pasangan meninggalkan kaus kaki kotor sembarangan atau menyimpan benda tidak pada tempatnya, hanyalah masalah ringan. Sedangkan masalah yang sulit dicari jalan keluarnya, contohnya prinsip hidup pasangan yang tidak sejalan dengan Anda, atau nilai-nilai dalam keluarga yang bertentangan dengan nilai-nilai yang Anda anut.

2. Belajar menerima pasangan

Untuk pasangan menikah, belajar menerima pasangan menjadi solusi dari berbagai masalah yang masih bisa terselesaikan dengan kompromi. Sedangkan masalah yang sulit dicari solusinya, umumnya sudah Anda temukan dan tentukan sebelum menikah. Contohnya jika Anda dan pasangan berbeda keyakinan. Apapun keputusan yang dibuat, Anda dan pasangan telah bersepakat menjalani solusi bersama untuk menghindari konflik di kemudian hari. Masalah seperti perbedaan cara berpikir atau nilai-nilai yang dipegang, bisa dicari solusinya dengan diskusi dan kompromi. Pasangan perlu dengan sadar menerima adanya perbedaan tersebut. Jika tidak, hal ini bisa menjadi pemicu perpisahan.

3. Cobalah tenang dan hindari emosi berlebihan
Hadapi masalah dengan tenang, karena cinta bisa menjadi modal utamanya. Klise memang mengatasnamakan cinta untuk mencari solusi berpasangan. Namun cara ini lebih baik dibandingkan menyerang pasangan dengan teriakan atau bersikap defensif. Sikap defensif muncul ketika Anda atau pasangan saling meremehkan karena ketidakmampuannya melakukan apa yang Anda atau dia sukai. Melihat masalah dari diri sendiri dan bukan menyalahkan pasangan juga akan menyelematkan hubungan. Sikap menyalahkan pasangan dengan lebih sering mengatakan pernyataam "kamu" daripada "saya" akan membuat pasangan merasa diserang.

4. Membuat kesepakatan dalam pernikahan
Keputusan untuk menikah sudah dipikirkan dengan matang, begitupun dengan pilihan pasangan bukan? Jadi, konflik pernikahan tidak akan menjadi krisis besar tanpa akhir jika Anda dan dia kembali kepada komitmen yang dibangun bersama saat menikah. Pernikahan sebenarnya sudah menjadi komitmen besar untuk membangun kehidupan berpasangan dengan cara yang sehat. Namun jika memang diperlukan, buatlah perjanjian bersama tentang bagaimana Anda dan pasangan sebaiknya menjalani pernikahan.
Misalnya, membuat perjanjian yang disepakati bersama, untuk tetap menjaga hubungan dengan mengedepankan sikap penuh cinta dan penghargaan. Jadi ketika menghadapi masalah, Anda dan pasangan merujuk kepada komitmen ini, berdiskusi dan kompromi untuk mencari solusi. Bentuk kesepakatan yang lebih detail bisa Anda wujudkan bersama pasangan. Anda dan pasangan tentu lebih mengetahui apa yang seringkali menjadi sumber konflik bukan?  



Menjalani kehidupan pernikahan tanpa konflik bisa saja terjadi, namun realitasnya hal ini jarang terjadi. Psychology Today menuliskan, di Amerika, setengah dari pernikahan pertama berakhir dengan perceraian, 60 persen pernikahan kedua juga mengalami kegagalan. Anda bisa mencegah kegagalan ini dengan memahami konflik dalam pernikahan dan mencari tahu bagaimana mengelolanya agar hubungan tetap terjaga harmonis.

Sumber konflik dalam pernikahan
Sebuah penelitian yang fokus pada hubungan pernikahan menyebutkan, konflik dalam relasi suami istri tak terelakkan. Sumbernya bisa dari pertengkaran kecil sehari-hari, hubungan dengan keluarga, perbedaan sikap tentang cara membesarkan anak, dan persoalan keuangan. Persoalan ini hampir terjadi pada setiap pasangan menikah, yang tak terhindarkan namun sangat bisa diatasi. Mengenali masalah dan menyadari bahwa relasi suami istri tidak sehat dan perlu diperbaiki bisa memperpanjang usia pernikahan.
Pilihan gaya menghadapi masalah
Terdapat tiga gaya berbeda dalam menghadapi masalah dan konflik dalam relasi pasangan menikah. Mengenali tipe pasangan menghadapi masalah, bisa menjadi salah satu cara untuk membangun hubungan yang lebih sehat. Artinya, saat konflik datang, Anda dan pasangan bisa menemukan teknik yang lebih tepat dalam mencari solusi bersama.
* Pasangan saling membenarkan bahwa ada masalah dalam hubungan pernikahan. Kemudian pasangan bekerjasama dengan cara yang tenang tanpa emosi, fokus pada masalah atau konflik, untuk mencari solusi bersama.
* Pasangan bersitegang dan berselisih paham saat konflik muncul.
* Pasangan bersepakat untuk saling menerima perbedaan sikap dan persepsi masing-masing terhadap masalah.

Dampak negatif konflik pernikahan terhadap anak
Menurut Asosiasi Terapi Pernikahan dan Keluarga Amerika (The American Association for Marriage and Family Therapy/AAMFT), konflik yang terjadi pada pernikahan membawa dampak negatif bagi anak-anak.

Saat konflik terjadi, fokus Anda dan pasangan tak berpusat pada kepentingan anak-anak. Sebagai orangtua mungkin Anda dan suami selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Namun ketika konflik terjadi Anda bingung bagaimana caranya melakukan hal terbaik untuk anak.

AAMFT lebih jauh menjelaskan bahwa ksploitasi terhadap anak bisa terjadi ketika orangtua mengalami konflik pernikahan. Misalnya, anak dijadikan penengah, dijadikan pembawa pesan untuk pasangan, ditanya tentang aktivitas ayah atau ibunya, diberi keyakinan bahwa ayah atau ibunya punya sifat-sifat buruk, bahkan diminta memilih ikut siapa jika ayah-ibunya berpisah.

Perilaku seperti ini akan menimbulkan risiko bagi anak, seperti depresi, kehilangan arah karena tak bisa membedakan benar-salah dari perilaku orangtua, sulit membangun hubungan sosial, dan penurunan prestasi akademik.

Jangan pernah menyepelekan masalah 

Asosiasi Psikologi Amerika (The American Psychological Association) menegaskan, pasangan suami istri sebaiknya tidak menyepelekan atau mengabaikan krisis dan konflik. Sebaliknya, hadapi dan selesaikan konflik pernikahan.

Lebih penting lagi adalah, pasangan menikah perlu membangun kehidupan berpasangan lebih positif dengan berbagi intimasi, menemukan identitas pasangan dengan tetap menghargai otonomi masing-masing individu. Komunikasi dan diskusi perlu dibangun terus-menerus dengan pasangan, seperti bagaimana Anda dan pasangan ingin membesarkan anak, memilih sekolah yang tepat, atau lainnya. Saling berbagi, mengetahui dan mendengar bagaimana sikap, pemikiran, dan pendapat pasangan bisa mencegah miskomunikasi dan kesalahpahaman. Dengan membangun relasi seperti ini, pasangan lebih mampu menghadapi konflik. Bahkan konflik mungkin jarang muncul dengan terbentuknya hubungan pernikahan yang sehat.

Kompromi dengan pasangan
Sikap kompromi terhadap pasangan bisa menjadi solusi awal mengatasi konflik. Caranya dengan menyadari dan mengenali apa yang penting bagi pasangan dan lakukan kompromi dengannya. Konflik pernikahan takkan bisa selesai dengan memenangkan sikap Anda atau pasangan. Jika masih saja menemukan jalan buntu, sebaiknya datang bersama pasangan, dengan kesadaran bersama untuk meminta bantuan psikolog atau lembaga konsultasi pernikahan.


Seberapa sering Anda terbawa emosi saat terlibat pertengkaran dengan orang lain? Ketika Anda sudah dikuasai oleh amarah, berdamai dengan diri sendiri bisa membuat Anda berpikir jernih dalam mencari solusi. Tetapi bagaimana caranya?

1. Terjemahkan apa yang sebenarnya Anda inginkan
Saat perdebatan dengan teman, kakak, rekan kerja, atau siapapun, dan suasana makin panas, Anda akan mudah sekali terbawa emosi. Bukan saat yang tepat untuk bernegosiasi untuk mencari solusi bersama. Berhentilah untuk selalu berusaha memecahkan segala macam persoalan. Hentikan perdebatan, lalu mulai tuliskan perasaan Anda, atau cari teman yang dipercaya untuk mendengarkan masalah Anda. Intinya, cara ini membantu Anda memikirkan hasil atau solusi yang paling tepat. Mengambil keputusan saat pikiran dikuasai amarah hanya akan membuat Anda mencari-cari alasan pembenaran dan menyalahkan orang lain.

2. Kumpulkan sebanyak mungkin informasi
Ketika Anda sudah mengontrol pikiran Anda dengan lebih tenang, Anda akan lebih mudah menghadapi orang lain. Jangan sekali-kali berasumsi bahwa Anda tahu betul sumber masalahnya berdasarkan apa yang dikatakan atau dipikirkan orang lain. Cari tahu sumber masalah dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data dan fakta sebelum mulai membicarakan solusi. Misalkan, pasangan Anda kesal karena tagihan membludak akibat belanja keperluan rumah tangga. Daripada membalas dengan bentakan dan amarah, lebih baik tanyakan apa yang membuat ia kesal dengan anggaran yang sudah Anda buat. Apakah menurutnya Anda belanja lebih banyak darinya? Apakah Anda harus melakukan pengurangan, atau memang penggunaan uang harus diperketat? Lakukan riset kecil-kecilan, bandingkan dengan pengeluaran rumah tangga pada umumnya (dengan standar tertentu), lalu diskusikan perbandingan tersebut dengan keluhan suami. Berusaha memahami posisi orang lain (lawan bicara) akan memudahkan Anda untuk mencari solusi bersama.

3. Tetapkan bentuk proses negosiasi
Jika pikiran sudah tenang dan terkontrol, tentukan kepada siapa Anda ingin bicara dan menegosiasikan masalah, kapan dan dimana tempat yang paling tepat. Persiapan ini penting untuk menciptakan kenyamanan bagi kedua belah pihak yang berseteru. Siapkan juga alur pembicaraan dan agendanya, sepakati bersama siapa yang memulai pembicaraan. Siapkan waktu khusus untuk menyelesaikan masalah. Hal ini untuk menunjukkan itikad baik Anda.

4. Sampaikan pesan yang tepat
Mulailah berdiskusi untuk mencari solusi dengan memunculkan sejumlah saran dan ide. Tunjukkan bahwa Anda mempunyai niat serius untuk memperbaiki keadaan. Katakan juga bahwa niat baik ini adalah untuk mencari solusi yang bisa disepakati dan dijalankan untuk kebaikan bersama. Tak cukup hanya dengan ucapan, Anda juga harus menyelesaikan masalah dengan menunjukkan perilaku yang mendukung ke arah positif. Sikap tubuh yang keliru, yang menunjukkan emosi, bisa memperkeruh suasana.

5. Negosiasi
Saat Anda memulai bernegosiasi untuk mencari solusi, kontrol diri Anda. Jangan memotong pembicaraan; bicaralah saat sudah giliran Anda. Respons pernyataan lawan bicara dengan tenang. Tarik nafas, dan berikan jeda beberapa detik untuk menjawabnya. Kontrol diri sangat penting agar solusi bisa ditemukan dengan pikiran yang tenang dan bukan emosi.
Jika semua cara ini sudah dicoba, namun masih juga belum menemukan penyelesaian, mediasi menjadi langkah selanjutnya. Anda membutuhkan  bantuan dari pakar atau dari pihak ketiga yang mampu menetralkan suasana. Bisa teman yang dipercaya kedua belah pihak, seperti  keluarga, kolega, atau jika ingin lebih efektif, cari pakarnya. Pakar profesional lebih memahami teknik mendamaikan pihak berseteru. Ini lebih baik daripada mendiamkan masalah dan menumbuhkannya menjadi energi negatif.


Pria ternyata takut jika harus bertengkar dengan pasangannya. Yang dimaksud pertengkaran di sini adalah yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam hubungan mereka, bukan karena sesuatu yang menjadi kesalahan pria tersebut.
Pria cenderung menghindar ketika "ditantang" berargumen dengan pasangannya, meskipun biasanya ia akan memenangkannya. Namun, jika tidak ditantang, sebenarnya pria enggan mendebatkan hal-hal tidak penting. Bertengkar, buat mereka, hanya membuang waktu. Karena itu, sebisa mungkin mereka menghindari konflik, terutama konflik yang berkaitan dengan:
Gadget 
Banyak pasangan yang lebih suka terpaku pada ponselnya masing-masing saat sedang berkencan. Bila hal itu yang terjadi, mungkin masing-masing pihak tak akan terlalu dikecewakan. Berbeda halnya bila si dia lebih suka memelototi perangkatnya daripada memperhatikan Anda. Pasti Anda merasa tidak dihargai.

Pria memang merasa didorong untuk sukses, untuk menjadi seseorang yang diandalkan, dan untuk terlibat dalam segala hal penting yang terjadi. Ketika Anda menegurnya, mengatakan bahwa seharusnya ia memperhatikan Anda sebanyak ia mengamati benda kesayangannya, ia pasti langsung mundur. Hal ini karena ia lebih baik membuat pilihan antara yang benar dan salah, daripada memilih dua hal yang sama-sama penting (Anda dan Blackberry-nya), namun sebenarnya berbeda.

Mantan
Perempuan memang paling bawel soal ini. Selaluuu... saja ingin tahu seperti apa mantan kekasih pasangannya, apa pekerjaannya, mengapa si dia dulu jatuh cinta dengannya, sampai apa yang membuat mereka berpisah. Sebaliknya, si dia enggan membuka mulut.

Dua sikap yang berbeda inilah yang memicu pertengkaran. Dalam hal ini, tampaknya pria jauh lebih mengerti mengenai diri Anda daripada Anda sendiri. Kalau ia mengatakan sesuatu hal yang positif mengenai mantannya, ia khawatir Anda akan membanding-bandingkan diri. Sedangkan jika ia menyampaikan sesuatu yang negatif, ia takut Anda akan menganggapnya tidak sportif, atau tidak ksatria. Yang lebih penting, Anda akan berpikir mengapa dulu ia memilih kekasih seperti itu.
Pendek kata, apapun jawaban si dia, Anda tak akan puas mendengarnya. Atau seperti kata Jack Nicholson pada Tom Cruise dalam film A Few Good Men, "You can't handle the truth!". Anda pasti tak bisa menerima kenyataan dari apapun jawaban si dia.

Perpisahan
Ketika perpisahan terjadi, pria tidak akan menanggapinya dengan teriakan, tangisan, hinaan, dan hal-hal lain seperti yang dilakukan perempuan. Meskipun hubungan si dia dengan mantannya dulu sama sekali tidak berhasil, ia tidak ingin mengakhirinya dengan cara yang tidak menyenangkan. Hal ini disebabkan karena ia tak mau dianggap sebagai pria brengsek, kasar, atau tidak bertanggung jawab. 

Meskipun pria lah yang menginginkan perpisahan, umumnya mereka tidak ingin hal itu menjadi perpisahan yang buruk. Tentu saja, hal ini tidak terjadi pada pria yang memang punya perangai kurang baik, seperti memiliki banyak kekasih atau senang berbohong.

Pernikahan
Yang dimaksud bukanlah mengapa si dia tak juga menikahi Anda, tetapi karena Anda berharap ia terlibat dalam segala persiapan pernikahan Anda berdua. Dari yang sifatnya "penting" (siapa yang diundang), hingga yang "remeh-temeh" (apa warna taplak mejanya). Ia tahu, "Terserah kamu" bukan jawaban yang Anda inginkan, tetapi ia juga lelah mendengarkan semua hal yang sifatnya detail. Dan, pria memang tidak mampu memikirkan hal-hal yang jelimet dan ribet seperti ini.

Perlu Anda ketahui, sikapnya yang tanpa perlawanan ini bukan karena ia tidak tertarik dengan pernikahan itu sendiri, melainkan karena ia menghargai bahwa pernikahan ini adalah momen penting untuk Anda. Jadi, lakukan saja apa yang Anda mau, dan nikmati.


Pertengkaran yang kerap kali terjadi dalam rumah tangga salah satunya dipicu masalah keuangan. Uang menjadi kambing hitam, padahal masalah utamanya bisa jadi berasal dari perbedaan visi pasangan suami istri (pasutri) itu sendiri.

Tom Martin Charles Ifle, Mentor Coach yang juga praktisi hipnoterapi, menjelaskan bahwa masalah mendasar dalam hubungan pasutri bukan disebabkan oleh uang, melainkan lebih pada perbedaan visi atau tujuan mengenai akan diapakan uang tersebut.

"Uang bisa menjadi pemicu konflik, bukan karena kekurangan uang, namun lebih karena kebiasaan pasangan yang berbeda. Suami atau istri bisa mengelola uang, namun belum tentu bisa me-manage keputusan untuk mengelola uang. Apakah mengambil keputusan dengan emosi atau logis. Padahal, karakter uang sendiri sudah sangat emosional," papar Tom kepada Kompas Female, di sela workshop Money Coaching yang diadakan oleh iCOACH di Hotel Harris Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (9/7/2010).

Perselisihan paham dalam rumah tangga terkait uang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti dijelaskan Tom berikut:

1. Peran suami dan istri
Peran suami dan istri yang diasumsikan menjadi sumber konflik rumah tangga, yang selalu dikaitkan dengan uang. Dalam kondisi masyarakat modern, peran suami dan istri tak bisa lagi menggunakan asumsi. Misalnya, karier dan pendapatan istri yang lebih tinggi. Padahal, pendapatan suami saat ini kurang. Peran yang diasumsikan bahwa suami harus berpendapatan lebih dari istri inilah yang menjadi akar masalah pasutri yang dipicu keuangan. Padahal, persoalan utamanya bukan pada uang, melainkan lebih pada kesepahaman suami dan istri tentang perannya yang belum sejalan.

2. Gaya komunikasi berbeda
Hubungan pasutri dalam rumah tangga akan mengalami disfungsi karena persoalan komunikasi. Baik suami maupun istri memiliki prioritas masing-masing dalam penggunaan keuangan. Suami menganggap dengan memberikan uang sebanyak-banyaknya kepada istri atau keluarga, maka akan menyelesaikan semua masalah. Sedangkan istri menganggap bukan uang yang banyak solusinya, namun lebih pada bagaimana uang tersebut akan digunakan dan apa prioritas keluarga. Uang lantas dianggap sebagai alat komunikasi yang paling mudah, padahal uang tak bisa menjawab semua masalah.

3. Minimnya afeksi
Jika hubungan pasutri kompak, adanya komunikasi yang baik dan hadirnya ikatan emosi yang kuat membuat persoalan uang bisa didiskusikan. Sayangnya, afeksi dalam hubungan pasutri menipis sehingga uang kembali menjadi sumber masalah yang menghancurkan hubungan. Jika hubungan emosi pasutri terjalin baik, dengan adanya perhatian, perasaan cinta, sentuhan, saling menghargai dan mendengarkan, serta menciptakan suasana harmonis, persoalan keuangan keluarga sangat bisa dipecahkan. Jika dikatakan cinta mengalahkan segalanya, konsep ini bisa dipraktikkan ketika pasutri menghadapi persoalan termasuk seputar keuangan.

4. Prioritas berbeda
Penyebab konflik rumah tangga terkait keuangan semakin mengerucut pada perbedaan karakter, kebiasaan atau pembawaan dari masa kecil, yang akhirnya membentuk prioritas berbeda, baik pada suami maupun istri. Pasutri yang kurang mengenali karakter masing-masing karena minimnya afeksi tadi, lantas akan terjebak dalam konflik keuangan berkepanjangan. Karena akhirnya pasutri memiliki tujuan masing-masing dan juga prioritas penggunaan keuangan yang berbeda arah.

Kebiasaan atau pengalaman yang dibawa suami atau istri sejak kecil dari keluarganya juga berpengaruh. Misalnya, Anda sejak kecil diberikan uang saku tanpa batas dan selalu dihabiskan. Kebiasaan ini membentuk karakter sehingga berapa pun uang yang Anda hasilkan dan pemberian suami selalu habis, tak pernah bisa ditabung. Atau Anda pernah punya pengalaman pahit pada masa lalu tentang sekolah, misalnya, sehingga Anda ingin memastikan anak Anda akan mendapatkan pendidikan di sekolah paling bagus atau paling mahal.
Perbedaan pengalaman hidup pada masa lalu ini jika tidak dibicarakan bersama pasangan akhirnya bisa menimbulkan prioritas penggunaan uang yang berlawanan. Komunikasi tidak akan terjalin baik jika pasutri minim afeksi. Jadi semua faktor saling berkaitan, yang kemudian memperkeruh konflik pasutri dengan mengambinghitamkan uang.

Pernikahan adalah sebuah institusi. Ketika argumen demi argumen mulai merupakan sebagian besar bentuk komunikasi yang Anda dan dia langsungkan di rumah maupun di luar rumah, tak heran jika Anda dan pasangan mulai merasakan adanya keresahan dalam rumah tangga.

Tak ada satu pernikahan di dunia ini yang sempurna. Bahkan kebanyakan penyebab ketidaksempurnaannya pun sama. Daftar masalah utama dalam sebuah pernikahan tak begitu panjang, dan kebanyakan di antaranya masih bisa diatasi. Apa sajakah permasalahan yang paling sering mengganggu pernikahan? Berikut 10 di antaranya yang ditemui oleh situs askmen.com:

10. Frekuensi seks

Kebanyakan pasangan yang sudah menikah secara periodik berhenti berhubungan intim karena beberapa hal, di antaranya; penolakan, kelelahan, stres, dan lainnya. Ironisnya, melakukan hubungan seksual adalah cara yang menyenangkan untuk melepaskan stres yang menghambat Anda untuk melakukan hubungan seks. Jika kekurangan aktivitas bercinta menambah stres, maka hal tersebut adalah inti masalahnya.

9. Pembagian peran dalam rumah tangga
Zaman dulu, pada saat orangtua kita masih menjadi pasangan baru menikah, mungkin saja masih berada dalam stigma, pria harus bekerja mencari nafkah sementara wanitanya di rumah dan mengurus rumah. Padahal, pada kenyataannya, pria pun seharusnya juga memiliki tugas kerja di rumah juga.

8. Tidak merawat diri

Hal ini sering terjadi terutama pada wanita, meski pada pria pun tak sedikit terjadi. Ada banyak penyebabnya. Cobalah untuk menghargai tubuh Anda dengan selalu merawatnya.

7. Tak ingin memiliki anak

Banyak pria dan wanita melihat pernikahan adalah sebuah konsekuensi pernikahan. Keputusan untuk memiliki anak atau tidak merupakan sebuah keputusan yang besar. Wajar jika seseorang merasa tak siap untuk memiliki anak.

6. Perbedaan dalam mendidik anak

Ketika Anda sudah memiliki keturunan, akan ada perbedaan antara Anda dan pasangan dalam keinginan cara mendidik anak. Usahakan untuk berada dalam koridor yang sama dengan pasangan untuk hal mendidik anak agar si anak tidak bingung harus mengikuti peraturan siapa. Namun, secara umum, asalkan orangtuanya selalu menyayanginya, anak akan tumbuh baik.

5. Ketidakmampuan untuk memiliki keturunan

Ketidaksuburan masih dipandang sebagai hal yang tabu di masyarakat kita. Padahal, hal tersebut bukanlah salah siapa-siapa. Tak seperti permasalahan lainnya yang ada dalam daftar ini, hal yang satu ini tak bisa diubah. Akan lebih baik jika sebuah pasangan sudah membicarakan hal seputar anak dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi di sekitarnya sebelum berupaya untuk memiliki anak agar lebih mudah untuk menghadapi apa pun yang ada di depan.

4. Mertua dan ipar
Anda pasti sudah sering mendengar, bahwa mertua bisa jadi pengganggu yang menyebabkan runyamnya sebuah rumah tangga. Begitu halnya dengan ulah ipar. Bisa jadi karena perbedaan cara pandang, norma, dan nilai yang berbeda bisa membuat kita menilai keluarga si pasangan sedikit di luar batas kewajaran. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa mentolerir kebiasaan dan adab mertua atau ipar yang amat bertolak belakang tersebut. Tentunya dibutuhkan kesepakatan dengan pasangan pula untuk menjalaninya.

3. Stres seputar rumah

Menikah bisa berarti memiliki tempat tinggal sendiri. Bisa dengan membeli rumah baru atau menyewa tempat tinggal. Dengan tinggal di tempat sendiri berarti akan ada stres dan tekanan baru. Yang pertama, membeli rumah itu tidak murah, selain harus membayar cicilan, harus memikirkan pula pajak bangunan, dan biaya perawatannya. Sebelum memutuskan untuk membeli rumah, pikirkan apakah Anda benar-benar sanggup membiayainya.

2. Stres finansial
Sumber permasalahan finansial bisa datang dari banyak hal. Hal finansial bisa jadi merupakan masalah terutama yang diributkan pasangan. Satu cara untuk menyelesaikannya adalah dengan membicarakannya. Jujurlah dengan pasangan mengenai masalah keuangan yang dihadapi dan seberapa banyak aset yang dimiliki. Jangan pula menutupi pengeluaran yang telah dilakukan.

1. B-O-S-A-N

Melalui setiap saat bersama orang yang sama seumur hidup bisa jadi hal yang menakutkan untuk sebagian besar orang. Tak heran jika salah satu dari Anda atau malah keduanya mengalami kebosanan. Sudah bisa dipastikan, dalam sebuah pernikahan pasti akan terbentur dengan rasa bosan. Namun, jangan pandang kebosanan akan rutinitas menjadi suatu momok. Lakukan sesuatu untuk membuatnya kembali bergairah. Misal, travelling bersama, atau melakukan kegiatan bersama pasangan, atau mencoba hal-hal baru dalam kehidupan bercinta.